TRANSPORTASI ONLINE DAN TANTANGAN EKONOMI DIGITAL

Ditulis oleh Zainal Abidin S.IP, MA
Business and Public Policy Analyst @Dyazpa Indonesia


Unjuk rasa menentang keberadaan transportasi online oleh para pengemudi taksi reguler di Jakarta beberapa saat lalu barangkali menjadi titik kulminasi penolakan terhadap moda transportasi berbasis daring itu. Aksi penolakan sebelumnya berbuntut terhadap pelarangan operasi ojek online oleh Menteri Jonan. Kebijakan yang langsung memantik protes tidak hanya dari para pengemudi ojek online, tetapi juga dari masyarakat utamanya kalangan netizen yang tampaknya banyak di antara mereka turut merasakan manfaat transportasi online. Presiden pun ikut turun tangan, dan sehari kemudian Menteri Jonan mencabut larangannya.

Kontoversi keberadaan transportasi berbasis aplikasi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat yang menjadi tempat awal munculnya angkutan Uber Taksi juga sempat muncul penolakan. Para pengemudi taksi konvensional di negeri itu bahkan meminta pemerintah untuk melarang operasi angkutan ini. Penolakan terhadap Uber juga terjadi di Perancis dan beberapa negara Amerika tengah seperti Meksiko. Unjuk rasa tidak jarang berujung kericuhan dan pengrusakan. Namun tampaknya semua itu tidak serta merta mematikan eksistensi transportasi online. Di tanah air, aksi penolakan yang dilakukan oleh (supir) angkutan reguler malah mendapat tanggapan yang kurang simpatik dari masyarakat. Menarik bila mencermati tanggapan masyarakat, umumnya mereka mengapresiasi keberadaan angkutan online dan tidak ingin angkutan ini ditiadakan. 
       
Bahwa kebijakan tarif yang diterapkan oleh transportasi online menimbulkan kompetisi harga yang merugikan angkutan reguler memang ada benarnya. Bahwa keberadaan transportasi online yang beroperasi di luar jangkauan regulasi pemerintah menimbulkan implikasi yang tidak fair bagi angkutan konvensional, juga betul adanya. Semua keberatan tersebut di atas di satu sisi bisa dipahami, karena masalah ini tidak hanya menyangkut urusan perut satu atau dua orang. Namun menuntut penghentian operasi transportasi online sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah. Kicauan para netizen yang menolak penghapusan angkutan online membentangkan fakta menarik bahwa menghapus moda transportasi baru ini bukanlah perkara yang sederhana.

Transportasi online dan era ekonomi digital
Kehadiran transportasi online menandai fase transisi menuju era digital. Sebuah era berbasis teknologi dimana bermunculan aplikasi siap pakai. Transisi ini mungkin sebenarnya sudah lama dimulai, namun tampaknya baru disadari setelah muncul kontroversi transportasi online. Kegiatan dan aktivitas manusia ke depan akan serba menggunakan aplikasi digital. Lingkungan dan cara kerja manusia pula mengalami perubahan. Kultur dan nilai ikut mengalami transformasi. Kecepatan, efisiensi, fleksibilitas dan kemudahan adalah kredo yang berkuasa dalam lingkungan baru ini.

Industri jasa tampaknya menjadi sektor yang mengalami lompatan inovasi paling cepat. Kemunculan transportasi online adalah contoh nyata bagaimana usaha jasa angkutan akan menjadi arena persaingan inovasi berbasis aplikasi. Sektor-sektor lain juga sudah memulai trend ini. Bahkan sektor non-profit juga pun demikian. Pelayanan pemerintah, sebagai contohnya, sudah mulai menerapkan penggunaan aplikasi digital untuk meningkatkan performa di tengah arus tuntutan peningkatan pelayanan kepada publik. E-budgeting, e-filing dan entah apalagi adalah sederet contoh aplikasi digital yang mempermudah dan meningkatkan efektifitas kinerja pemerintah. Contoh lainnya adalah aplikasi smart city yang sangat efektif meningkatkan partisipasi warga dalam menyelesaikan masalah-masalah di perkotaan.    
  
Menarik bila mencermati pola manajemen dan cara kerja moda transportasi online. Hubungan antara manajemen (vendor dan pemilik aplikasi) dan pengemudi lebih tampak sebagai mitra ketimbang majikan-pekerja sebagaimana dalam manajemen konvensional. Dalam skema ini, pihak manajemen berperan sebagai fasilitator sementara pengemudi yang menjadi pemain utama. Begitu juga pola bagi hasil. Distribusi pendapatan tampaknya mengadopsi paradigma dimana banyak orang merasa terberdayakan secara ekonomi. Terlihat, dari hari ke hari makin banyak yang tertarik bergabung untuk menjadi pengemudi transportasi online. Tidak hanya itu saja, aplikasi digital juga membuka kesempatan lebar bagi munculnya entrepreneur-enterpreneur baru. Trend baru yang disebut dengan ekonomi digital sebagai sebuah business model pun dimulai.

Ekonomi digital sifatnya desentralistik. Persaingan ketat dan terus-menerus dalam menciptakan aplikasi baru dengan sendirinya menjadi mekanisme yang dapat meminimalisir pemusatan sumber daya pada sedikit orang (vendor aplikasi). Cukup sederhana untuk memahaminya. Aplikasi yang gagal mengikutsertakan banyak orang dalam pesta ekonomi akan langsung digantikan oleh aplikasi dan vendor baru. Di era digital sekarang ini tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi. Dengan keterbukaan informasi siapa pun bisa dengan mudah mengetahui bila ada ketidakberesan. Kunci keberhasilan sebuah aplikasi (teknologi) terletak pada seberapa banyak orang ikut terberdayakan, dan seberapa besar kegunaan aplikasi tersebut dalam membantu menyelesaikan suatu pekerjaan. Dua kriteria inilah yang menentukan hidup matinya sebuah aplikasi. Dari persfektif yang mungkin terlalu optimistik ini, ekses negatif yang mungkin timbul dalam model bisnis ini tampaknya belum perlu dirisaukan.

Ekonomi digital seperti ransportasi online bisa jadi menjadi ancaman bagi usaha angkutan model konvensional. Namun ini sebenarnya lebih pada masalah sikap bagaimana merespon tuntutan kebutuhan pasar yang berubah di tengah perkembangan teknologi yang revolusioner. Pelaku usaha angkutan konvensional kini berada di persimpangan jalan. Bersikap reaktif dengan menolak transportasi online sebagaimana yang dilakukan oleh paguyuban transportasi konvensional baru-baru ini justru menuai cibiran bukan simpati dari pengguna transportasi. Berbenah dan mengambil cara pandang yang positif terhadap kemunculan inovasi baru adalah solusi yang bijak. Gesekan yang terjadi antara pelaku transportasi konvensional dengan moda transportasi online lebih karena ketiadaan regulasi yang mengatur keberadaan transportasi online ini.

Ketiadaan Regulasi
Transportasi online mendapatkan sambutan yang antusias dari pengguna transportasi sejak awal kemunculannya. Ojek online, sebagai contoh, malah mendapat apresiasi dari Presiden Jokowi dan Gubernur DKI. Kehadiran moda transportasi online dinilai sebagai terobosan kreatif dalam menyikapi keruwetan transportasi di perkotaan besar seperti Jakarta. Meski demikian, selain apresiasi, kehadirannya juga memantik kontroversi dan penolakan yang kerap disertai kekerasan dan intimidasi. Alasan penolakannya adalah keberadaan moda transportasi online mengancam kelangsungan hidup transportasi yang sudah lama ada, serta kebijakan tarif yang diterapkan transportasi online dianggap merugikan transportasi reguler.

Tekanan dan intimidasi fisik tidak cukup kuat untuk menghentikan operasi transportasi online. Bahkan pertumbuhannya makin pesat. Operator transportasi reguler coba menggunakan cara legal. Otoritas terkait pun diminta untuk turun tangan melarang moda transportasi baru ini dengan alasan ilegal. Menteri Perhubungan memberikan respon dan sempat mengeluarkan larangan terhadap ojek online. Larangan yang kemudian hanya efektif satu hari, dan kemudian dicabut kembali.

Menarik bila membahas pelarangan ini. Suatu produk atau jasa dinyatakan dilarang bila ada aturan atau regulasi yang dilanggar. Transportasi online adalah preseden baru dan belum regulasi yang mengaturnya. Jadi bisa dikatakan, transportasi online hadir di tengah kekosongan aturan. Bagaimana melarang sesuatu yang belum ada aturannya? Aturan dibuat menjadi dasar untuk menetapkan bahwa sesuatu itu dilarang atau dibolehkan. Oleh karenanya larangan operasi transportasi online sebenarnya membuka ruang debat soal legalitas ini. Sementara itu, pasar yang menyambut baik kehadiran transportasi online justru semakin menyudutkan pihak-pihak yang menolak transportasi online. Belum lagi skema kerja transprotasi online yang berbasis perorangan, juga menghadirkan tantangan yang tidak kecil bagi legalitas.

Sejak adanya pro-kontra di awal kemunculannya, pemerintah sebenarnya telah berusaha mencari format penyelesaian yang mengkomodasi semua kepentingan dalam masalah ini. Pemerintah paham betul bahwa inovasi-inovasi teknologi seperti aplikasi transportasi online adalah keniscayaan dan tidak bisa dihindari. Larangan sama sekali bukan solusi karena pasarlah yang akhirnya menjadi penentu. Fenomena transportasi online harus mendapat perhatian serius, dan pemerintah dituntut untuk lebih tanggap serta mengambil langkah antisipatif dari sekarang mengingat inovasi-inovasi baru akan terus bermunculan di masa akan datang. Pemerintah jangan sampai terkesan lambat dalam merespon perkembangan ekonomi baru ini dan hanya menjadi pemadam kebakaran ketika timbul gesekan di masyarakat.

Merumuskan solusi
Transportasi berbasis daring adalah tuntutan kehidupan modern. Kehadirannya merupakan kombinasi semakin ketatnya atmosfer persaingan dalam industri jasa dan tuntutan kebutuhan masyarakat perkotaan. Masyarakat atau pasar kini bukan lagi semata-mata pengguna saja, melainkan juga menjadi juri yang menentukan diterima atau tidaknya sebuah produk atau jasa. Pengguna sangat reseptif terhadap perkembangan baru, dan karenanya kemampuan untuk survive amat ditentukan oleh keunggulan inovasi yang ditawarkan.

Transportasi online adalah kenyataan yang harus diterima. Tugas pemerintah adalah bagaiamana mencari formula yang dapat mengakomodasi semua kepentingan. Pemerintah dituntut agar secepatnya menyediakan payung regulasi yang memastikan kompetisi dalam usaha jasa angkutan berlangsung fair. Solusi yang lambat akan membuat pro-kontra atas kehadiran transportasi online akan menjadi bola liar yang berpotensi menimbulkan gesekan di antara pelaku usaha.

Kehadiran negara adalah kunci untuk menyelesaikan kontroversi transportasi online ini. Negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban melindungi semua kepentingan dan berdiri di tengah-tengah sebagai wasit yang memastikan pertandingan berjalan adil dan fair. Kompetisi bebas yang mematikan jangan sampai terjadi mengingat dampak social yang ditimbulkannya. Apalagi, persaingan ekonomi tanpa rambu-rambu sangat bertentangan dengan semangat ekonomi dan etos kebangsaan kita.

Pihak-pihak yang bertanding harus mematuhi aturan main yang diterapkan pemerintah. Transportasi online harus mengikuti mekanisme perizinan dan masuk dalam ranah regulasi, termasuk di dalamnya ketentuan tarif dan pajak. Tidak sulit melakukan ini, tinggal political will dari pemerintah saja. Di sisi lain, pelaku usaha transportasi konvensional juga dituntut untuk segera berbenah diri. Menolak keberadaan transportasi online adalah sikap yang kontraproduktif. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kebutuhan pengguna transportasi di tengah masih banyaknya persoalan yang membelit sistem transportasi di perkotaan. Sikap adaptif terhadap perkembangan teknologi mutlak diperlukan sembari melakukan pembenahan terhadap manajemen dan strategi pasar. Lingkungan persaingan ekonomi di masa mendatang sangat mengagungkan inovasi dan kreativitas. Tidak mampu berinovasi maka akan tergilas. 

Para pemangku kepentingan harus duduk bersama merumuskan solusi yang mampu mengakomodasi semua pihak. Cakupannya lintas kementrian dan multi-dimensi. Sikap realistis sangat dibutuhkan agar ada penyelesaian yang cepat. Melihat dinamika pasar dan mau mendengarkan apa yang dibutuhkan masyarakat selaku pengguna transportasi adalah prasyarat untuk bisa bersikap realistis. Ekonomi digital akan terus menghadirkan tantangan baru seiring dengan munculnya inovasi-inovasi yang ditawarkannya. Para pemangku kepentingan utamanya pemerintah sebagai regulator harus mulai mempersiapkan langkah antisipasi sedini mungkin dalam menyikapi tantangan era ekonomi digital ini.

Ditulis oleh Zainal Abidin S.IP, MA
Business and Public Policy Analyst @Dyazpa Indonesia